Senin, 26 Januari 2009

Penanggulangan Pencemaran Laut Indonesia Untuk Merengkuh Kembali Kejayaan Negara Bahari

Masih seringkah kita menyanyikan lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”? Atau masih ingatkah kita akan kejayaan Indonesia pada zaman Sriwijaya maupun Majapahit yang berhasil direngkuh lewat kekuatan baharinya? Sepertinya kita telah melupakan semua itu bila kita melihat kenyataan saat ini. Banyak media yang memberitakan pencemaran tingkat tinggi terjadi di lautan Indonesia. Berita ini mencerminkan bahwa kita seolah-olah tidak lagi menghargai lautan sebagai kekayaan bangsa yang pernah mengantarkan bangsa kita pada kejayaan, bahkan cenderung menjadikannya tempat sampah! Sungguh tragis nasib lautan Indonesia.

Salah satu contoh pencemaran laut yang berimbas pada masyarakat daerah pesisir adalah pencemaran daerah pantai timur Surabaya. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa Air Susu Ibu para wanita di daerah itu mengandung kadmium sebanyak 36,1 ppm. Kandungan darah penduduk kawasan itu juga dinyatakan mengandung merkuri dan tembaga. Bahkan, kandungan tembaga dalam darah mereka berada di atas ambang batas yang ditentukan WHO (Ecoton, 2001). Tidak hanya daerah pantai timur Surabaya , air laut Teluk Jakarta juga dinyatakan telah terkontaminasi logam berat, termasuk merkuri dalam kadar cukup tinggi (Republika Online, 2004). Disadari atau tidak, hal ini merupakan ancaman bagi masa depan bangsa Indonesia. Ancaman ini disebabkan oleh bahaya logam berat seperti merkuri, kadmium, tembaga dan timbal sebagai pencemar yang dapat merusak otak, menurunkan daya ingat, melemahkan sistem syaraf, menghambat pertumbuhan dan perkembangan tubuh, menyebabkan cacat fisik, termasuk kerusakan ginjal dan berpengaruh negatif pada tulang. Selain itu, seperti pada penyakit Minamata, merkuri serta logam berat pencemar lain juga dapat merusak susunan gen sehingga diperkirakan penyakit yang ditimbulkan tersebut dapat menurun ke generasi berikutnya. (Republika Online, 2005).

Sebagaimana kita ketahui, Pantai Kenjeran dan Teluk Jakarta yang diketahui mengandung merkuri dan logam berat lain dalam kadar membahayakan tersebut terletak di 2 kota terbesar Indonesia, yaitu Surabaya dan Ibu Kota Jakarta, yang selain padat penduduk juga menjadi pusat pendidikan. Dapat kita bayangkan, apabila penduduk kedua kota tersebut terkena dampak pencemaran laut oleh logam berat yang menyebabkan kerusakan otak, mental dan fisik yang dapat diturunkan kepada generasi berikutnya, tentu dampaknya juga sangat besar bagi perkembangan Indonesia secara keseluruhan. Dampak negatif secara keseluruhan ini timbul karena banyaknya Sumber Daya Manusia (SDM) yang semestinya menjadi harapan bangsa berasal dari kedua kota tesebut. Belum lagi pencemaran laut kawasan lainnya, seperti Teluk Buyat, Perairan Laut Sulawesi Utara dan lain-lain yang juga tidak dapat diabaikan. Merkuri dan logam berat lain yang mencemari kawasan laut Indonesia tersebut, dalam jumlah kecil pun, dapat sangat berbahaya seperti pada kasus Teluk Minamata karena logam berat bersifat akumulatif di dalam tubuh organisme dan konsentrasinya mengalami peningkatan (biomagnifikasi) dalam tingkatan trofik yang lebih tinggi dalam rantai makanan (Wilson, 1988). Hal ini sungguh ironis dan bertolak belakang dengan zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Di zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, laut membawa bangsa kita pada kemakmuran dan kejayaan. Namun, sekarang, lautan dan keaneka ragaman hayatinya seperti ikan dan hewan laut lain, yang semestinya menjadi kekayaan bangsa, malah membawa ancaman keterpurukan bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dan masa depan bangsa secara keseluruhan.

Uraian ancaman laut Indonesia serta sumber daya dan keaneka ragaman hayatinya yang sungguh ironis dengan fungsi laut pada zaman Kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit dahulu patut kita cermati penyebabnya. Laut merupakan muara dari sungai beserta hulunya, mulai dari air pegunungan, sampai drainase penduduk. Jadi, langkah awal sebagai pencegahan pencemaran laut tentu dimulai dari sungai dan drainase penduduk. Pembuangan sampah sembarangan ke sungai dan drainase yang menyebabkan timbulnya pencemaran harus dicegah. Begitu pula buangan limbah industri yang harus memenuhi baku mutu limbah. Pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk menindak pengusaha-pengusaha nakal yang tidak mematuhi aturan baku mutu limbah yang telah dibuat pemerintah serta penduduk yang tidak peduli akan kelestarian perairan .

Industri pertambangan, terutama pertambangan emas, diketahui juga turut berperan besar dalam menimbulkan pencemaran merkuri di lautan. Untuk itu, kita juga patut mencari solusi untuk mengatasi pencemaran merkuri yang disebabkan pertambangan, seperti kontaminasi merkuri di perairan Sulut, Teluk Buyat, Teluk Manado serta perairan sungai Kahayan yang juga berakhir ke laut, yang disebabkan oleh pertambangan emas.

Mengendalikan pencemaran merkuri di pertambangan emas yang bermuara ke lautan sebenarnya ada beberapa cara. Cara yang paling utama adalah dengan menggunakan pertambangan ramah lingkungan, yaitu pertambangan tertutup. Tahap berikutnya adalah menggunakan teknologi pemrosesan batuan tambang yang tidak menggunakan bahan merkuri, di antaranya dengan bahan sianida dan dengan cara bioteknologi yang disebut proses pencucian dengan mikroba. Mikroorganisme yang mengoksida batuan itu umumnya hidup pada bahan anorganik, di antaranya adalah Thiobacillus feroxidans. Beberapa tahun lalu peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berhasil mengisolasi spesies itu di pertambangan emas Cikotok. Proses biologi ini banyak dipilih untuk mengolah biji atau batuan yang mempunyai kandungan sulfida yang tinggi karena biayanya lebih murah dibandingkan dengan cara mekanis, serta ramah lingkungan. Cara ini telah diterapkan AS, Cile dan beberapa negara lain.

Alternatif lain yang disebut fitoremediasi dengan menggunakan tumbuhan yang mampu menyerap logam berat juga ditempuh. Salah satu tumbuhan yang digunakan tersebut adalah pohon api-api (Avicennia marina). Pohon Api-api memiliki kemampuan akumulasi logam berat yang tinggi. Dari Penelitian yang dilakukan oleh Daru Setyo Rini Ssi (Peneliti madya Lembaga kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah-ECOTON), jenis Mangrove yang mendominasi Perairan Timur Pantai Surabaya ini memiliki sistem penanggulangan materi toksik yang berbeda, diantaranya dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam tersebut. Ekskresi juga merupakan upaya yang mungkin terjadi, yaitu dengan menyimpan materi toksik logam berat dalam jaringan yang sudah tua seperti daun yang sudah tua dan kulit batang yang mudah mengelupas, sehingga dapat mengurangi konsentrasi logam berat di dalam tubuhnya. Metabolisme atau transformasi secara biologis (biotransformasi) logam berat dapat mengurangi toksisitas logam berat. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami pengikatan dan penurunan daya racun, karena diolah menjadi bentuk-bentuk persenyawaan yang lebih sederhana. Proses ini dibantu dengan aktivitas enzim yang mengatur dan mempercepat jalannya poses tersebut. Jenis ini dapat dikembangan sebagai benteng terakhir pengendalian Pencemaran Logam Berat di wilayah pesisir.

Mengatasi pencemaran merkuri dengan bakteri juga dimungkinkan karena diketahui ada bakteri yang dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang mengandung merkuri dalam jumlah tinggi. Bakteri itu adalah Pseudomonas fluorescens, Staphylococcus aureus, dan Bacillus sp. Hal ini dapat menginspirasi ahli biologi molekuler untuk memadukan fungsi gen beberapa bakteri hingga menghasilkan strain unggul untuk mengatasi pencemaran merkuri secara cepat dan efektif (Kompas, 2004).

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita lihat bahwa masalah pencemaran laut ini tidak lantas dibiarkan begitu saja tanpa ada solusi. Solusi yang dipaparkan melalui penjelasan di atas tersebut merupakan sebuah solusi yang masuk akal, menguntungkan dan tidak mustahil untuk dilakukan bangsa Indonesia, terlebih proses fitoremediasi yang alami serta relatif murah walaupun mungkin membutuhkan waktu yang agak lama. Cara lain seperti menghindari penggunaan merkuri pada pertambangan emas serta menggantikannya dengan sianida maupun penanggulangan dengan bakteri juga bukan merupakan hal yang mustahil untuk digunakan masyarakat penambang. Hal yang diperlukan saat ini hanyalah ketegasan pemerintah dalam mencanangkan peraturan, pemberian dukungan dalam pencegahan pencemaran untuk pemulihan keadaan perairan, baik dari segi pendanaan, motivasi maupun keterlibatan secara langsung, serta kerjasama pemerintah dengan para pengusaha dan masyarakat Indonesia dalam mencegah pencemaran air pada kawasan hulu yang merupakan salah satu penyebab utama pencemaran laut. Jadi, semuanya berangkat dari kemauan dan kerjasama seluruh komponen bangsa Indonesia. Masihkah kita ingin memperoleh kejayaan melalui kemegahan lautan Indonesia, bukannya malah ancaman melalui ketercemaran lautan bangsa? Pengoptimalan potensi kelautan yang akan membawa kejayaan Indonesia tidak akan pernah bisa terjadi bila pencemaran laut masih berlangsung. Oleh karena itu, mari kita mencegah dan mengatasi pencemaran laut Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar