I’m A Boy, Either A Girl
Kenalkan, aku Mira. Umurku 17 tahun. Cewek, dengan rambut hitam lurus nan panjang sepinggang. Teman-temanku mengatakan bahwa aku lumayan cantik dengan bulu mata lentik dan tinggi badan 165 centimeter. Tapi tidak begitu halnya dengan papaku. Papa pernah mengatakan padaku bahwa sebenarnya dulu beliau sangat menginginkan anak lelaki untuk meneruskan karirnya sebagai Jenderal bintang lima yang cukup tersohor di Indonesia. Karena itu, papaku sering mendidikku dengan cara lelaki. Seringkali aku diajak beliau berburu, berlatih menembak, dan panahan. Di samping itu, beliau juga sangat keras dalam mendidikku. Kedisiplinan tinggi khas ABRI juga diterapkan pada caranya membesarkanku. Sebaliknya, mamaku yang super feminin sangat menginginkan anak perempuan yang lucu, cantik, dan feminin sepertinya. Mamaku seorang feminis sejati. Seorang feminis yang sibuk dan terkenal di berbagai media sebagai aktifis penyuara hak-hak perempuan di beberapa LSM. Oleh karena itu, mama juga mendidikku bagaimana menjadi seorang perempuan sejati yang kuat, berpengaruh namun tetap tidak meninggalkan gaya feminisnya. Mama melarangku memotong rambutku yang kata beliau sangat indah. Mengajariku berdandan adalah hal yang beliau lakukan bahkan semenjak aku masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Karena itulah aku cinta cermin. Aku senang membawa cermin kemana-mana dan menaruhnya sembarangan. Di manapun. Tak peduli seberapa besar ukurannya, selama aku masih bisa mengangkatnya, akan kupindah cermin-cermin semauku, dimanapun. Lagipula, aku juga bisa menyuruh para pembantuku untuk memindahkannya. Mama juga selalu mengajariku untuk bertutur kata lemah lembut bak putri solo serta melarangku untuk tertawa ngakak. Tak lupa, mama mengajariku bahwa aku harus jadi wanita berpengaruh yang tidak bisa dijajah begitu saja oleh para lelaki dengan semua kelembutanku. Pun, mama juga mengajarkan bahwa wanita harus menunjukkan bahwa feminisme harus menang, dengan segala atributnya—termasuk lemah lembut dan rambut panjang—atas semua kekuasaan lelaki yang dianggap dapat membatasi gerak-gerik wanita. Pendeknya, segala ke-feminisme-an yang diajarkan mama sangat teramat kontras dengan apa yang diajarkan papaku. Papaku mengajarkan bahwa lelaki harus jadi yang terkuat karena Adam-lah manusia pertama di muka bumi ini, dan Hawa diciptakan untuknya hanya sebagai peneman sejati, dan bahkan mungkin juga hanya sebagai pelayan. Oleh karena itu, papaku tidak pernah setuju wanita menunjukkan eksistensinya. Wanita hanya boleh berada di rumah, berdandan, memasak, dan membesarkan anak. Hmm.. tentu kalian heran. Bagaimana bisa mama dan papaku yang bertolak belakang dalam idealisme serta cara membesarkan aku dapat hidup dalam satu rumah? Tidak. Memang, dulu mereka satu rumah. Tapi itu dulu. Mereka kini sudah bercerai. Dan walau dulu mereka satu rumah, aku tidak ingat kami bertiga pernah makan malam dalam satu meja. Tidak pernah. Seolah-olah rumah kami memiliki sekat semu yang memisahkan papa dan mama. Mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Dan yang paling aneh lagi, mereka seperti punya semacam perjanjian perwalian anak, persis seperti orang-orang yang sudah bercerai. Setiap Senin sampai Rabu, aku harus bersama mama setiap mama pulang dari aktivitasnya. Bersama mama dalam kamar mewahnya yang mirip rumah tipe 45 lengkap dengan segala perabotannya. Selanjutnya, Kamis-Sabtu, aku harus bersama papa, di kamarnya yang juga tak kalah besar dengan fasilitas yang tak kalah lengkap, di bagian timur rumah, berlawanan arah dengan kamar mama. Untuk hari minggu, aku bebas menentukan untuk berada di mana saja. Di kamar mama, papa, atau kamarku sendiri. Itu semua sudah terjadi seolah-olah sejak aku lahir, karena aku tak ingat kapan aku tak diperlakukan seperti itu. Ini membuatku bingung. Setiap Senin sampai Rabu, aku diperlakukan bak seorang pria dengan segala kegiatan kelelakiannya. Papa juga selalu menyuruhku mengikat rambut dan menyembunyikannya di balik topi, agar aku mirip anak lelaki. Kata papa, papa tidak memotong rambutku karena terikat janji dengan mama, yaitu janji bahwa aku boleh diperlakukan sebagai anak lelaki asal rambutku tidak dipotong. Dan karena papa tidak mau mendengar ocehan mama, papa lamgsung menyetujui usul itu, asal keinginannya menjadikan aku gagah tercapai. Saat aku masih kecil dulu, papa seringkali mengenalkanku pada koleganya sebagai anak lelaki yang akan menjadi penerus karirnya. Sedangkan Kamis sampai Sabtu, mama menyulapku menjadi seorang anak perempuan super feminin layaknya beliau. Mereka memperlakukanku seperti ini bahkan mungkin sejak aku lahir, karena aku juga tidak ingat kapan aku diperlakukan tidak seperti ini. Seringkali aku bingung. Hatiku menangis. Tapi tak bisa berbuat apa-apa karena aku sayang mereka berdua. Keluargaku memang aneh. Sangat aneh. Dan aku lebih terpukul saat nenek mengatakan padaku bahwa semua keanehan dan keributan antara mama dan papa semakin menjadi saat aku lahir dan tidak memiliki kembaran berbeda kelamin, yang mungkin akan sedikit melegakan mereka karena keinginan mereka berdua yang bertolak belakang dapat terpenuhi dengan adil. Selain itu, kata nenek, hal yang semakin menguatkan posisiku sebagai seseorang yang bersalah adalah gara-gara mama melahirkan aku yang berhesus darah positif—sedangkan Mama rhesus darah mama negatif—dokter melarang mama untuk hamil lagi. Bila mama hamil lagi, kemungkinan besar mama akan mengandung janin berhesus positif yang akan menyebabkan anak kedua mama atau calon adikku tersebut menderita erythoblastosis fetalis, sebuah penyakit kelainan darah yang mematikan.
***********
” Huah..” aku baru saja menguap. Kuregangkan otot-otot tangan dan punggungku. Kenalkan, aku Dani. Cowok. 17 tahun. Berambut pendek. Aku benci bercermin. Sangat benci. Sebisa mungkin kuhindari cermin karena aku takut aku akan tidak menghargai diriku sendiri setelah bercermin. Banyak sekali orang di luar sana yang membenci diri mereka sendiri setelah bercermin. Aku tidak mau menjatuhkan penghargaanku terhadap diriku sendiri hanya karena cermin! Itu adalah hal yang bodoh. Karena itu, aku tak bisa menjelaskan terlalu banyak tentang ciri fisikku padamu. Mungkin aku lelaki yang kurang percaya diri. Padahal aku sangat jantan. Sangat. Aku sangat suka kegiatan laki-laki. Di rumahku ada wall climbing dan ring basket, dua benda kesayanganku. Aku sangat benci wanita. Seringkali aku merasa mereka seolah-olah senang mengejekku. Entah mengapa. Aku.. entahlah, aku sering mengurung diri. Aku bahkan tak ingat pernah bersosialisasi dengan teman sebayaku. Mungkin aku takut mereka juga akan mengejekku.
Aku segera beranjak dari kasur dan berniat menuju wall climbing di halaman belakang yang penuh pepohonan rimbun. Rumahku sangat besar, namun sepi. Beberapa pembantu tak pernah berkomunikasi denganku karena aku melarang mereka berbicara padaku bila tak perlu. Aku berjalan menuju pintu kamarku yang masih tertutup dengan mata yang juga masih setengah tertutup karena kantuk. Tapi, mataku yang masih setengah tertutup itu langsung terbelalak lebar begitu melihat sesosok bayangan mengerikan lewat sebuah cermin besar yang tiba-tiba saja menempel di balik pintuku. Siapa yang menempelkan benda terkutuk ini di kamarku? geramku dalam hati. Sosok itu.. lihatlah sosok di cermin itu. Sosok berambut panjang yang tengah melemparkan pandangan sinis padaku. Seakan-akan menirukan ketakutanku dan mengatakan ” You’re not a boy, baby.. You’re a girl just like me..” dengan gaya femininnya yang memuakkan. Tidak!! Tapi, cewek itu semakin mengejekku. Aku laki-laki! Aku Dani! Dani! Papa bilang aku harus jadi seperti seorang pria sejati! Dan aku menurutinya karena aku sayang papa! Cewek itu semakin mengejek. ” Dani, listen to me.. Papa hanya ingin kau menjadi seperti seorang pria sejati. Ingat, hanya seperti! Seperti bukan adalah. Dan kamu hanya diinginkan menjadi seperti laki-laki karena kamu bukan laki-laki!” Kata-kata itu membuatku semakin geram. Cewek itu telah mengatakan hal yang paling kutakutkan. Cewek dan kata-kata yang paling kutakutkan itu akhirnya muncul lewat cermin, benda yang paling kubenci seumur hidupku. Tidak!! Aku menjerit histeris. Prang!!! Dengan membabi buta aku memecahkan cermin itu dengan kursi komputer yang ada di sampingku. Kulihat cermin di depanku itu telah pecah berantakan. Tapi sayangnya, belum seluruh tubuh cermin sialan itu yang pecah. Sebagian dari cermin retak itu masih menampakkan tubuh ramping dan rambut panjang dengan senyum mengejeknya padaku. Hanya mata dan sebagian tubuh bagian kanan gadis jahanam itu yang hancur bersama cermin. Sialan !!! Siapa kamu sebenarnya ?!!! jeritku.
” Dani..dani.. Ini aku. Kamu. Kamu cewek, Dan.. Terimalah kenyataan pahit ini. Kamu hanya ingin nyenengin papa dan membenci mama kan? Padahal.. kalo kamu jadi kamu yang sebenarnya yaitu aku, kamu hanya ingin mama dan papa bersatu, bukan membenci salah satunya, apalagi mama, seperti yang kamu lakukan saat ini, saat kamu jadi Dani.”
Pembual! Prang! Sebagian kaca itu kupecahkan lagi! Aku mendengar tawa ejekan yang sesungguhnya merdu itu semakin mengeras. Tidak. Aku laki-laki. Papa ingin aku jadi anak laki-laki dan aku memang laki-laki. Aku benci wanita karena mereka lemah. Saat aku bersama papa, aku melihat mama sering menangis hanya karena memperdebatkan masalah tidak penting, seperti cara membesarkan aku maupun pembelaannya terhadap emansipasi wanita. Cuh! Wanita hanya bisa berhias, lemah dan akhirnya menangis di hadapan kaum lelaki. Itukah yang mama sebut emansipasi? Lemah dan konyol sekali dia. Mama membohongi takdirnya sendiri. Mana kekuatan wanita yang dia koar-koarkan bila akhirnya ditampar papa saja menangis? Papa pernah menceritakan padaku bahwa tamparan mama padanya sama sekali tak menyakitkan. Jadi laki-laki enak, kan ? Mereka bisa kebal terhadap tamparan wanita yang pada dasarnya memang lemah.
” Sudahlah.. terimalah takdirmu. Kamu wanita. Kamu adalah aku. Lihat rambut panjangmu yang indah itu, Sayang..”
Aku terkesiap mendengar kata-kata itu. Rambutku cepak. Bukan panjang, Bodoh! Tiba-tiba, aku melihat seutas rambut panjang menyampir di pundakku. Topiku? Mana topiku? Topiku yang selalu membuat aku tampak keren sebagai pria.. Tapi, rambut siapa ini?
” Itu rambutmu sendiri, Dani.. Rambut indahmu..”
Apa? Aku melongok ke dalam salah satu serpihan cermin cukup besar di lantai yang tak jauh dariku. Aku? Aku berambut panjang? Wajahku.. Wajahku mirip cewek sialan itu tadi.. Tidak!!! Tidak!!! Atau.. jangan-jangan dia adalah setan yang kini tengah merasuk tubuhku? Sialan! Ya, pasti! Pasti dia telah merasuki tubuhku. Aku tersenyum pongah! Setan busuk, tunggulah kematianmu sebentar lagi! Kau kira kau bisa menghantui aku selamanya, Hah?! Kau salah besar! Aku segera mengambil serpihan cermin tajam yang terlihat mataku. Aku tersenyum sinis sebelum mengiriskan kaca tajam tersebut ke nadi tangan setan yang kini menjelma jadi tanganku itu. Ya. Ini demi membunuh dan mengusir tubuh setan itu agar tubuh priaku kembali. Aargh.. Darah segar memancar dari nadiku. Aku kesakitan. Tapi tak apa. Ini mungkin hanya efek dari meluruhnya tubuh setan itu dan..... semuanya tiba-tiba gelap setelah aku merasakan sebuah tubuh ditarik kasar dari dalam tubuhku. Yes! Akhirnya aku menang. Tubuh setan itu benar-benar pergi dari tubuh priaku.
******
Seorang pria paruh baya tampak memasuki sebuah kamar yang lantainya kini tak putih lagi. Mata pria tersebut terbelalak, terkesiap begitu melihat lantai putih itu bersimbah darah dan pecahan kaca berhamburan di mana-mana.
” Dani.. Dani.. Kenapa kamu, Nak?! Dani, kamu harapan papa satu-satunya, Nak! Kamu kenapa?! Dani....” teriak pria itu sambil mendekap tubuh anaknya tanpa mempedulikan darah amis kini tengah memenuhi tangan dan mengotori pakaian jenderal yang tengah dikenakannya. Pria yang membenci air mata itupun akhirnya menangis. Menangis tanpa menyadari bahwa tubuh tak bernyawa di hadapannya itu sebenarnya korban dari kebenciannya terhadap wanita yang baginya identik dengan air mata.
*******
Beberapa hari setelah itu..
Seorang wanita berumur 40-an menangis tersedu-sedu di ruang tamu rumahnya yang terbilang cukup mewah. Tangannya tengah menggenggam surat kabar yang sebagian besar basah oleh air mata. Di halaman surat kabar yang tak selesai dibacanya itu tertulis artikel dengan judul cukup besar : SEORANG GADIS PENDERITA SCHIZOPHRENIA BERKEPRIBADIAN GANDA DITEMUKAN BUNUH DIRI DI KAMARNYA
Miradania Salfariz, 17, anak seorang jenderal papan atas, ditemukan tewas bunuh diri di kamarnya. Diduga, motivasi bunuh diri gadis yang diketahui menderita schizophrenia dan kepribadian ganda semenjak perceraian kedua orang tuanya 10 tahun lalu itu berasal dari....
“ Mira.. kalo saja mama dan papamu tau semuanya berakhir seperti ini.. Mama mungkin tidak akan sekeras kepala itu, Nak.. Maafkan mama.. Gara-gara mama terlalu mempertahankan prinsip dan ambisi serta keinginan mama, kamu jadi seperti ini.. Andai mama tahu kalau akhirnya seperti ini, mama akan membiarkanmu menjadi apa yang kamu mau, Nak..” wanita cantik itu menangis tersedu sambil terus menggumamkan kata itu berulang-ulang. Anehnya, di sebuah rumah mewah lain, jauh dari rumah itu, seorang jenderal pria melakukan hal sama. Menangis tersedu, menyesali apa yang terjadi dan menggumamkan kata-kata yang tak jauh berbeda!
Terkadang, bahkan seringkali, anak menjadi korban dari pertengkaran kedua orang tua dan keegoisan mereka, atau orang yang mereka anggap tua, yang juga kerap menginginkan mereka menjadi seseorang yang tidak mereka inginkan. Dan kebanyakan dari orang tua baru sadar bahwa mereka melakukan kesalahan setelah anak mereka memberontak dengan cara yang menyedihkan, yang membuat harapan yang mereka paksakan dengan cara tidak adil pada anak-anak mereka itu menjadi hancur.. tak berbentuk sama sekali dan tak membawa hasil apapun, kecuali kekacauan dan kepedihan.
Kenalkan, aku Mira. Umurku 17 tahun. Cewek, dengan rambut hitam lurus nan panjang sepinggang. Teman-temanku mengatakan bahwa aku lumayan cantik dengan bulu mata lentik dan tinggi badan 165 centimeter. Tapi tidak begitu halnya dengan papaku. Papa pernah mengatakan padaku bahwa sebenarnya dulu beliau sangat menginginkan anak lelaki untuk meneruskan karirnya sebagai Jenderal bintang lima yang cukup tersohor di Indonesia. Karena itu, papaku sering mendidikku dengan cara lelaki. Seringkali aku diajak beliau berburu, berlatih menembak, dan panahan. Di samping itu, beliau juga sangat keras dalam mendidikku. Kedisiplinan tinggi khas ABRI juga diterapkan pada caranya membesarkanku. Sebaliknya, mamaku yang super feminin sangat menginginkan anak perempuan yang lucu, cantik, dan feminin sepertinya. Mamaku seorang feminis sejati. Seorang feminis yang sibuk dan terkenal di berbagai media sebagai aktifis penyuara hak-hak perempuan di beberapa LSM. Oleh karena itu, mama juga mendidikku bagaimana menjadi seorang perempuan sejati yang kuat, berpengaruh namun tetap tidak meninggalkan gaya feminisnya. Mama melarangku memotong rambutku yang kata beliau sangat indah. Mengajariku berdandan adalah hal yang beliau lakukan bahkan semenjak aku masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Karena itulah aku cinta cermin. Aku senang membawa cermin kemana-mana dan menaruhnya sembarangan. Di manapun. Tak peduli seberapa besar ukurannya, selama aku masih bisa mengangkatnya, akan kupindah cermin-cermin semauku, dimanapun. Lagipula, aku juga bisa menyuruh para pembantuku untuk memindahkannya. Mama juga selalu mengajariku untuk bertutur kata lemah lembut bak putri solo serta melarangku untuk tertawa ngakak. Tak lupa, mama mengajariku bahwa aku harus jadi wanita berpengaruh yang tidak bisa dijajah begitu saja oleh para lelaki dengan semua kelembutanku. Pun, mama juga mengajarkan bahwa wanita harus menunjukkan bahwa feminisme harus menang, dengan segala atributnya—termasuk lemah lembut dan rambut panjang—atas semua kekuasaan lelaki yang dianggap dapat membatasi gerak-gerik wanita. Pendeknya, segala ke-feminisme-an yang diajarkan mama sangat teramat kontras dengan apa yang diajarkan papaku. Papaku mengajarkan bahwa lelaki harus jadi yang terkuat karena Adam-lah manusia pertama di muka bumi ini, dan Hawa diciptakan untuknya hanya sebagai peneman sejati, dan bahkan mungkin juga hanya sebagai pelayan. Oleh karena itu, papaku tidak pernah setuju wanita menunjukkan eksistensinya. Wanita hanya boleh berada di rumah, berdandan, memasak, dan membesarkan anak. Hmm.. tentu kalian heran. Bagaimana bisa mama dan papaku yang bertolak belakang dalam idealisme serta cara membesarkan aku dapat hidup dalam satu rumah? Tidak. Memang, dulu mereka satu rumah. Tapi itu dulu. Mereka kini sudah bercerai. Dan walau dulu mereka satu rumah, aku tidak ingat kami bertiga pernah makan malam dalam satu meja. Tidak pernah. Seolah-olah rumah kami memiliki sekat semu yang memisahkan papa dan mama. Mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Dan yang paling aneh lagi, mereka seperti punya semacam perjanjian perwalian anak, persis seperti orang-orang yang sudah bercerai. Setiap Senin sampai Rabu, aku harus bersama mama setiap mama pulang dari aktivitasnya. Bersama mama dalam kamar mewahnya yang mirip rumah tipe 45 lengkap dengan segala perabotannya. Selanjutnya, Kamis-Sabtu, aku harus bersama papa, di kamarnya yang juga tak kalah besar dengan fasilitas yang tak kalah lengkap, di bagian timur rumah, berlawanan arah dengan kamar mama. Untuk hari minggu, aku bebas menentukan untuk berada di mana saja. Di kamar mama, papa, atau kamarku sendiri. Itu semua sudah terjadi seolah-olah sejak aku lahir, karena aku tak ingat kapan aku tak diperlakukan seperti itu. Ini membuatku bingung. Setiap Senin sampai Rabu, aku diperlakukan bak seorang pria dengan segala kegiatan kelelakiannya. Papa juga selalu menyuruhku mengikat rambut dan menyembunyikannya di balik topi, agar aku mirip anak lelaki. Kata papa, papa tidak memotong rambutku karena terikat janji dengan mama, yaitu janji bahwa aku boleh diperlakukan sebagai anak lelaki asal rambutku tidak dipotong. Dan karena papa tidak mau mendengar ocehan mama, papa lamgsung menyetujui usul itu, asal keinginannya menjadikan aku gagah tercapai. Saat aku masih kecil dulu, papa seringkali mengenalkanku pada koleganya sebagai anak lelaki yang akan menjadi penerus karirnya. Sedangkan Kamis sampai Sabtu, mama menyulapku menjadi seorang anak perempuan super feminin layaknya beliau. Mereka memperlakukanku seperti ini bahkan mungkin sejak aku lahir, karena aku juga tidak ingat kapan aku diperlakukan tidak seperti ini. Seringkali aku bingung. Hatiku menangis. Tapi tak bisa berbuat apa-apa karena aku sayang mereka berdua. Keluargaku memang aneh. Sangat aneh. Dan aku lebih terpukul saat nenek mengatakan padaku bahwa semua keanehan dan keributan antara mama dan papa semakin menjadi saat aku lahir dan tidak memiliki kembaran berbeda kelamin, yang mungkin akan sedikit melegakan mereka karena keinginan mereka berdua yang bertolak belakang dapat terpenuhi dengan adil. Selain itu, kata nenek, hal yang semakin menguatkan posisiku sebagai seseorang yang bersalah adalah gara-gara mama melahirkan aku yang berhesus darah positif—sedangkan Mama rhesus darah mama negatif—dokter melarang mama untuk hamil lagi. Bila mama hamil lagi, kemungkinan besar mama akan mengandung janin berhesus positif yang akan menyebabkan anak kedua mama atau calon adikku tersebut menderita erythoblastosis fetalis, sebuah penyakit kelainan darah yang mematikan.
***********
” Huah..” aku baru saja menguap. Kuregangkan otot-otot tangan dan punggungku. Kenalkan, aku Dani. Cowok. 17 tahun. Berambut pendek. Aku benci bercermin. Sangat benci. Sebisa mungkin kuhindari cermin karena aku takut aku akan tidak menghargai diriku sendiri setelah bercermin. Banyak sekali orang di luar sana yang membenci diri mereka sendiri setelah bercermin. Aku tidak mau menjatuhkan penghargaanku terhadap diriku sendiri hanya karena cermin! Itu adalah hal yang bodoh. Karena itu, aku tak bisa menjelaskan terlalu banyak tentang ciri fisikku padamu. Mungkin aku lelaki yang kurang percaya diri. Padahal aku sangat jantan. Sangat. Aku sangat suka kegiatan laki-laki. Di rumahku ada wall climbing dan ring basket, dua benda kesayanganku. Aku sangat benci wanita. Seringkali aku merasa mereka seolah-olah senang mengejekku. Entah mengapa. Aku.. entahlah, aku sering mengurung diri. Aku bahkan tak ingat pernah bersosialisasi dengan teman sebayaku. Mungkin aku takut mereka juga akan mengejekku.
Aku segera beranjak dari kasur dan berniat menuju wall climbing di halaman belakang yang penuh pepohonan rimbun. Rumahku sangat besar, namun sepi. Beberapa pembantu tak pernah berkomunikasi denganku karena aku melarang mereka berbicara padaku bila tak perlu. Aku berjalan menuju pintu kamarku yang masih tertutup dengan mata yang juga masih setengah tertutup karena kantuk. Tapi, mataku yang masih setengah tertutup itu langsung terbelalak lebar begitu melihat sesosok bayangan mengerikan lewat sebuah cermin besar yang tiba-tiba saja menempel di balik pintuku. Siapa yang menempelkan benda terkutuk ini di kamarku? geramku dalam hati. Sosok itu.. lihatlah sosok di cermin itu. Sosok berambut panjang yang tengah melemparkan pandangan sinis padaku. Seakan-akan menirukan ketakutanku dan mengatakan ” You’re not a boy, baby.. You’re a girl just like me..” dengan gaya femininnya yang memuakkan. Tidak!! Tapi, cewek itu semakin mengejekku. Aku laki-laki! Aku Dani! Dani! Papa bilang aku harus jadi seperti seorang pria sejati! Dan aku menurutinya karena aku sayang papa! Cewek itu semakin mengejek. ” Dani, listen to me.. Papa hanya ingin kau menjadi seperti seorang pria sejati. Ingat, hanya seperti! Seperti bukan adalah. Dan kamu hanya diinginkan menjadi seperti laki-laki karena kamu bukan laki-laki!” Kata-kata itu membuatku semakin geram. Cewek itu telah mengatakan hal yang paling kutakutkan. Cewek dan kata-kata yang paling kutakutkan itu akhirnya muncul lewat cermin, benda yang paling kubenci seumur hidupku. Tidak!! Aku menjerit histeris. Prang!!! Dengan membabi buta aku memecahkan cermin itu dengan kursi komputer yang ada di sampingku. Kulihat cermin di depanku itu telah pecah berantakan. Tapi sayangnya, belum seluruh tubuh cermin sialan itu yang pecah. Sebagian dari cermin retak itu masih menampakkan tubuh ramping dan rambut panjang dengan senyum mengejeknya padaku. Hanya mata dan sebagian tubuh bagian kanan gadis jahanam itu yang hancur bersama cermin. Sialan !!! Siapa kamu sebenarnya ?!!! jeritku.
” Dani..dani.. Ini aku. Kamu. Kamu cewek, Dan.. Terimalah kenyataan pahit ini. Kamu hanya ingin nyenengin papa dan membenci mama kan? Padahal.. kalo kamu jadi kamu yang sebenarnya yaitu aku, kamu hanya ingin mama dan papa bersatu, bukan membenci salah satunya, apalagi mama, seperti yang kamu lakukan saat ini, saat kamu jadi Dani.”
Pembual! Prang! Sebagian kaca itu kupecahkan lagi! Aku mendengar tawa ejekan yang sesungguhnya merdu itu semakin mengeras. Tidak. Aku laki-laki. Papa ingin aku jadi anak laki-laki dan aku memang laki-laki. Aku benci wanita karena mereka lemah. Saat aku bersama papa, aku melihat mama sering menangis hanya karena memperdebatkan masalah tidak penting, seperti cara membesarkan aku maupun pembelaannya terhadap emansipasi wanita. Cuh! Wanita hanya bisa berhias, lemah dan akhirnya menangis di hadapan kaum lelaki. Itukah yang mama sebut emansipasi? Lemah dan konyol sekali dia. Mama membohongi takdirnya sendiri. Mana kekuatan wanita yang dia koar-koarkan bila akhirnya ditampar papa saja menangis? Papa pernah menceritakan padaku bahwa tamparan mama padanya sama sekali tak menyakitkan. Jadi laki-laki enak, kan ? Mereka bisa kebal terhadap tamparan wanita yang pada dasarnya memang lemah.
” Sudahlah.. terimalah takdirmu. Kamu wanita. Kamu adalah aku. Lihat rambut panjangmu yang indah itu, Sayang..”
Aku terkesiap mendengar kata-kata itu. Rambutku cepak. Bukan panjang, Bodoh! Tiba-tiba, aku melihat seutas rambut panjang menyampir di pundakku. Topiku? Mana topiku? Topiku yang selalu membuat aku tampak keren sebagai pria.. Tapi, rambut siapa ini?
” Itu rambutmu sendiri, Dani.. Rambut indahmu..”
Apa? Aku melongok ke dalam salah satu serpihan cermin cukup besar di lantai yang tak jauh dariku. Aku? Aku berambut panjang? Wajahku.. Wajahku mirip cewek sialan itu tadi.. Tidak!!! Tidak!!! Atau.. jangan-jangan dia adalah setan yang kini tengah merasuk tubuhku? Sialan! Ya, pasti! Pasti dia telah merasuki tubuhku. Aku tersenyum pongah! Setan busuk, tunggulah kematianmu sebentar lagi! Kau kira kau bisa menghantui aku selamanya, Hah?! Kau salah besar! Aku segera mengambil serpihan cermin tajam yang terlihat mataku. Aku tersenyum sinis sebelum mengiriskan kaca tajam tersebut ke nadi tangan setan yang kini menjelma jadi tanganku itu. Ya. Ini demi membunuh dan mengusir tubuh setan itu agar tubuh priaku kembali. Aargh.. Darah segar memancar dari nadiku. Aku kesakitan. Tapi tak apa. Ini mungkin hanya efek dari meluruhnya tubuh setan itu dan..... semuanya tiba-tiba gelap setelah aku merasakan sebuah tubuh ditarik kasar dari dalam tubuhku. Yes! Akhirnya aku menang. Tubuh setan itu benar-benar pergi dari tubuh priaku.
******
Seorang pria paruh baya tampak memasuki sebuah kamar yang lantainya kini tak putih lagi. Mata pria tersebut terbelalak, terkesiap begitu melihat lantai putih itu bersimbah darah dan pecahan kaca berhamburan di mana-mana.
” Dani.. Dani.. Kenapa kamu, Nak?! Dani, kamu harapan papa satu-satunya, Nak! Kamu kenapa?! Dani....” teriak pria itu sambil mendekap tubuh anaknya tanpa mempedulikan darah amis kini tengah memenuhi tangan dan mengotori pakaian jenderal yang tengah dikenakannya. Pria yang membenci air mata itupun akhirnya menangis. Menangis tanpa menyadari bahwa tubuh tak bernyawa di hadapannya itu sebenarnya korban dari kebenciannya terhadap wanita yang baginya identik dengan air mata.
*******
Beberapa hari setelah itu..
Seorang wanita berumur 40-an menangis tersedu-sedu di ruang tamu rumahnya yang terbilang cukup mewah. Tangannya tengah menggenggam surat kabar yang sebagian besar basah oleh air mata. Di halaman surat kabar yang tak selesai dibacanya itu tertulis artikel dengan judul cukup besar : SEORANG GADIS PENDERITA SCHIZOPHRENIA BERKEPRIBADIAN GANDA DITEMUKAN BUNUH DIRI DI KAMARNYA
Miradania Salfariz, 17, anak seorang jenderal papan atas, ditemukan tewas bunuh diri di kamarnya. Diduga, motivasi bunuh diri gadis yang diketahui menderita schizophrenia dan kepribadian ganda semenjak perceraian kedua orang tuanya 10 tahun lalu itu berasal dari....
“ Mira.. kalo saja mama dan papamu tau semuanya berakhir seperti ini.. Mama mungkin tidak akan sekeras kepala itu, Nak.. Maafkan mama.. Gara-gara mama terlalu mempertahankan prinsip dan ambisi serta keinginan mama, kamu jadi seperti ini.. Andai mama tahu kalau akhirnya seperti ini, mama akan membiarkanmu menjadi apa yang kamu mau, Nak..” wanita cantik itu menangis tersedu sambil terus menggumamkan kata itu berulang-ulang. Anehnya, di sebuah rumah mewah lain, jauh dari rumah itu, seorang jenderal pria melakukan hal sama. Menangis tersedu, menyesali apa yang terjadi dan menggumamkan kata-kata yang tak jauh berbeda!
Terkadang, bahkan seringkali, anak menjadi korban dari pertengkaran kedua orang tua dan keegoisan mereka, atau orang yang mereka anggap tua, yang juga kerap menginginkan mereka menjadi seseorang yang tidak mereka inginkan. Dan kebanyakan dari orang tua baru sadar bahwa mereka melakukan kesalahan setelah anak mereka memberontak dengan cara yang menyedihkan, yang membuat harapan yang mereka paksakan dengan cara tidak adil pada anak-anak mereka itu menjadi hancur.. tak berbentuk sama sekali dan tak membawa hasil apapun, kecuali kekacauan dan kepedihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar